KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur tim penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmat-Nya sehingga Makalah Filsafat
Pancasila dapat tersusun dengan baik.
Makalah ini merupakan tugas yang wajib disusun oleh mahasiswa/i Universitas Tanjungpura Pontianak setelah mengikuti masa perkuliahan tentang materi yang telah disampaikan.
Untuk itu, tim penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,
terutama kepada Ibu Dra. Endang Susilowati, M.Si selaku dosen pengajar Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan sehingga makalah yang tim penulis susun ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Tim penulis
menyadari bahwa di dalam penyusunan Makalah Filsafat Pancasila ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat tim penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini diwaktu
yang akan datang. Semoga Makalah Filsafat Pancasila yang sederhana ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin...
Pontianak, September 2013
Tim Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji
ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945,
63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenegaraan yang
sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang
merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan
ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa
selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga
sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan
hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah
diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan
rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais. Pancasila
lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD
1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun
1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Setiap bangsa dan negara yang ingin berdiri kokoh
kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh kerasnya persoalan hidup berbangsa dan
bernegara, sudah barang tentu perlu memiliki dasar negara dan ideologi negara
yang kokoh dan kuat pula. Tanpa itu, maka bangsa dan negara akan rapuh.
Mempelajari Pancasila lebih dalam menjadikan kita
sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan
dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih
bermartabat dan berbudaya tinggi.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber acuan
dalam menyusun etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia, maka
Pancasila juga sebagai paradigma pembangunan, maksudnya sebagai kerangka pikir,
sumber nilai, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan
dari suatu perkembangan perubahan serta proses
dalam suatu bidang tertentu. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan mempunyai arti bahwa Pancasila
sebagai sumber nilai, sebagai dasar, arah dan tujuan
dari proses pembangunan. Untuk itu segala aspek dalam
pembangunan nasional harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila
Pancasila dengan mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara
konsisten berdasarkan pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia.
Dalam berbagai sudut pandang mengenai teori pancasila
tidak dapat dielakkan lagi bahwa pancasila merupakan pandangan hidup bangsa
indonesia, maka penulis merujuk pada kajian antologis, epistemologis, dan
aksiologi pancasila dalam menyusun beberapa kalimat yang tingkat relevansinya
mencapai topik makalah yang akan dibuat.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, tim penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Apa
pengertian filsafat?
b. Apa
pengertian Pancasila sebagai suatu sistem?
c. Bagaimana
kesatuan dari sila-sila Pancasila?
d. Bagaimana
kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat?
e. Apa
yang dimaksud dengan Pancasila sebagai nilai dasar fundamental bagi bangsa dan
negara Republik Indonesia?
f. Apa
yang dimaksud dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia?
g. Apakah
makna dari nilai-nilai setiap sila Pancasila?
h. Apa
yang dimaksud dengan Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui apa pengertian filsafat
b. Untuk
mengetahui apa pengertian Pancasila sebagai suatu sistem
c. Untuk
mengetahui bagaimana kesatuan dari sila-sila Pancasila
d. Untuk
mengetahui bagaimana kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
e. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai nilai dasar fundamental
bagi bangsa dan negara Republik Indonesia
f. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan
negara Indonesia
g. Untuk
mengetahui apakah makna dari nilai-nilai setiap sila Pancasila
h. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Filsafat
Filsafat
adalah suatu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Jikalau
seseorang hanya berpandangan bahwa materi merupakan sumber kebenaran dalam
kehidupan, maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seseorang
berpandangan bahwa kenikmatan adalah nilai terpenting dan tertinggi dalam kehidupan
maka orang tersebut berpandangan filsafat hedonisme, demikian juga jikalau
seseorang berpandangan bahwa dalam kehidupan
bahwa masyarakat dan negara
adalah kebebasan individu, maka orang tersebut berfilsafat liberalisme, dan
jikalau seseorang memisahkan antara kehidupan kemasyarakatan atau kenegaraan dan
kehidupan agama, maka orang tersebut berfilsafat sekulerisme.
Secara
etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa yunani “philein” yang artinya
“cinta” dan “sophos” yang artinya “hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “wisdom”
(Nasution, 1973). Jadi, secara harfiah istilah filsafat mengandung makna cinta
kebijaksanaan. Jikalau ditinjau dari lingkup pembahasannya, maka filsafat meliputi
banyak bidang bahasan antara lain tentang manusia, masyarakat, alam, pengetahuan,
etika, logika, agama, estetika dan bidang lainnya. Filsafat juga berkaitan
dengan bidang ilmu tertentu, misalnya filsafat sosial, filsafat hukum, filsafat
politik, filsafat bahasa, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat lingkungan, filsafat
agama dan filsafat yang berkaitan dengan bidang ilmu lainnya.
Keseluruhan
arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu:
Pertama:
Filsafat
sebagai produk
a. Pengertian
filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep
dari para filsuf pada zaman dahulu, teori sistem atau pandangan tertentu yang
merupakan hasil dari proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
b. Filsafat
sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari
aktivitas berfilsafat.
Kedua: Filsafat sebagai suatu proses mencakup
pengertian
Dalam pengertian ini filsafat merupakan
suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini
tidak lagi hanya sekumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni, dan dipahami
sebagai suatu sistem nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas
berfilsafat, suatau proses yang dinamis dengan menggunakan suatu cara dan
metode tersendiri.
B. Pengertian Pancasila Sebagai
Suatu Sistem
Pancasila
yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang
dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, sisten lazimnya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suatu
kesatuan bagian-bagian
2. Bagian-bagian
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3. Saling
berhubungan, saling ketergantungan
4. Kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem)
5. Terjadi
dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich,1974:22).
Pancasila yang terdiri atas
bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila, setiap sila pada hakikatnya merupakan
suatu asas sendiri fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Isi sila-sila Pancasila
pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara Indonesia
terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradaban. Namun
demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan utuh,
setiap sila merupakan suatu unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila.
Maka dasar filsafat negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang
bersifat majemuk tunggal (majemuk artinya jamak) (tunggal artinya satu).
Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari sila yang
lainya.
Pancasila sebagai suatu sistem juga
dapat dipahami dari pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila yaitu
pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan
dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang
nilai-nilainya telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila
merupakan suatu sistem dalam pengertian kefilsafatan sebagaimana sistem,
filsafat lainnya antara lain materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme
dan sebagainya. Kenyataan Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri
terlepas dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari pengetahuan orang.
C.
Kesatuan
Sila-Sila Pancasila
1.
Susunan
Pancasila yang bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
Susunan
Pancasila adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Pengertian
matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila
dari Pancasila dalam urutan-urutan luas (kwantis) dan juga dalam hal sifat-sifatnya
(kwalitas). Kalau dilihat dari intinya, urut-urutan lima sila menunjukan suatu
rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari
sila-sila yang dimukanya.
Dalam susunan
hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara
dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan
sosial demikian selanjutnya. Secara
ontologis kesatuan sila-sila Pacasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkhis
dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut: bahwa hakikat adanya Tuhan
adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa Prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk
manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya
Tuhan (sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung negara, karena
negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup
bersama yang anggotanya adalah manusia (sila 2). Maka negara adalah sebagai
akibat adanya manusia yang bersatu (sila 3). Sehingga terbentuklah persekutuan
hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada hakikatnya merupakan unsur
negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas individu-individu
dalam negara yang bersatu (sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan
suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial
(sila 5) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut
negara (lihat Notonagoro, 19984:61 dan 1975:52,57) .
2.
Kesatuan
Sila-Sila Pancasila Yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi
Untuk
kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasila
dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas.
1. Sila
pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Sila
kedua: kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang Berketuhanan
Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila
ketiga: persatuan Indonesia adalah persatuan yang berkeTuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Sila
keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/keadilan adalah kerakyatan yang Berketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuaan Indonesia, yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila
kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. (Notonagoro, 1975 :43,44).
D.
Kesatuan
Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan
sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yag
bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar epistemologis
serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Selain kesatuan sila-sila
pencasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu
menyangkut makna serta hakikat sila-sila
Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksi ologis dari sila-sila Pancasila (Notonagoro, 1984:61 dan 1975;52,57).
Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksi ologis dari sila-sila Pancasila (Notonagoro, 1984:61 dan 1975;52,57).
1.
Dasar
Ontologis Sila-Sila Pancasila
Pancasila
sebagai suatu kesatuan sistem filsafat juga meliputi hakikat dasar sila-sila
Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar dari sila-sila Pancasila. Dasar
ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat
mutlak monopluralis ,oleh karena itu
hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung
pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut: bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berpersatuaan, yang berkerakyatan dan dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial
pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23 ).
Manusia
sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara omtologis memiliki hal-hal
yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa jasmani rohani,
sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi diri sendiri
dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia
inilah makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka
secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai
keempat sila-sila yang lainnya ( Notonagoro, 1975 : 53 ).
2.
Dasar
Epistemologis sila-sila Pancasila
Dasar
epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nila-nilai
dasarnya yaitu filsafat pancasila (Soeryanto,1991: 50). Oleh karena itu dasar
epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang
hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka
dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu
bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka,1996
: 32 ).
Terdapat
tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu: Pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran sumber pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia
(Titus, 1984 : 20 ). Persoalan epismetologi dalam hubungannya dengan Pancasila
dapat dirinci sebagai berikut :
Pancasila
suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan
Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan
Pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila
adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan dari bangsa
lain, bukannya hanya perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang
saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan
negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena
sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki
nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka diantara
bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri
sebagai sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
Sebagai
suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal
logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi sila-sila
Pancasila. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti
sila-sila Pancasila. Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu: pertama, isi arti Pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila-sila
Pancasila. Kedua, isi arti Pancasila
yang umum kolektif, yaitu isi arti
Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam
tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi
arti Pancasila yang bersifat khusus dan
kongkrit yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi prakatis dalam berbagai
bidang kehidupan sehingga meemiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis
(lihat Notonagoro, 1975 : 36,40).
Menurut
Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis
yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani)
dan jiwa (rokhani). Tingkatan raga manusia adalah unsur-unsur : fisis anorganis, vegetatif, animal.
Adapun unsur jiwa (rokhani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa
manusia yaitu: akal, yaitu suatu
potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia.
Rasa yaitu unsur potensi jiwa menusia
dalam tingkatan kemampuan estesis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan
bidang moral atau etika.
Manusia
pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa,
maka sesuai dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui
kebenaran wahyu yang bersifat mutlak, hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang
tertinggi. Adapun sesuai dengan tingkatan sila-sila Pancasila yang bersifat
hierarkhis dan berbentuk piramidal maka kebenaran konsensus didasari oleh
kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat manusia yang bersumber pada kehendak.
Sebagai suatu paham episetmologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya
bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus
diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam
hidup manusia.
3.
Dasar
Aksiologis Sila-Sila Pancasila
Sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar
aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ada hakikatnya
juga merupakan suatu kesatuan. Dari berbagai macam pandangan tentang nilai
dapat dikelompokkan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu
dimiliki karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini
bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu
itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan
dari paham objektivisme. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan
nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut
pandangnya masing-masing. Max Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada
hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya.
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian,
tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital.
A.
Teori
Nilai
Max Scheler
mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama
tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah dibandingkan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya,
nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
1)
Nilai-nilai
kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan
nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (Die Wertreihe des Angnehmen und Unangehmen), yang menyebabkan orang
senang atau menderita tidak enak.
2)
Nilai-nilai
kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai
penting bagi kehidupan (Werte des vitalen
Fuhlens) misalnya kesehatan.
3)
Nilai-nilai
kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat
nilai-nilai kejiwaan (geistige werte)
yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang
dicapai dalam filsafat.
4)
Nilai-nilai
kerokhanian: dalam tingkat ini terdapatlah moralitas
nilai-nilai yang suci dan tak suci (wermodalitas
des Heiligen und Unheiligen). Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari
nilai-nilai pribadi (Frondizi, 1963; Driyarkara, 1978).
Walter G.Everet menggolong-golongkan
nilai-nilai manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu :
1)
Nilai-nilai
ekonomis (ditunjukan oleh harga pasar dan
meliputi semua benda yang dapat dibeli)
2)
Nilai-nilai
kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan
keindahan dari kehidupan badan)
3)
Nilai-nilai
hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu
senggang yang dapat menyumbang pada pengayaan kehidupan)
4)
Nilai-nilai
sosial (berasal mula dari berbagai bentuk
perserikatan manusia)
5)
Nilai-nilai
watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian
dan sosial diinginkan)
6)
Nilai-nilai
estesis (nilai-nilai keindahan dalam alam dan
karya seni)
7)
Nilai-nilai
intelektual (nilai pengetahuan dan pengajaran
kebenaran)
8)
Nilai-nilai
keagamaan.
Notonagoro membagi
nilai menjadi tiga yaitu :
1)
Nilai material, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau
aktivitas.
2)
Nilai vital, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau
aktivitas.
3)
Nilai kerohanian, yaitu
sesuatu yang berguna bagi rohani. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas
empat macam.
a. Nilai
kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b. Nilai
keindahan, atau nilai estesis yang bersumber pada unsur perasaan (aesthesis, gevoel, rasa) manusia.
c. Nilai
kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada kehendak (will, wollen, karsa)
manusia.
d. Nilai
religius, yang merupakaan nilai kerokhnanian tertinggi dan mutlak. Nilai
religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dari
berbagai macam teori nilai tersebut, dapat dikemukakan pula bahwa yang
mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan
tetapi juga sesuatu yang berwujud nonmaterial atau immaterial. Bahkan sesuatu
yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi
manusia.
B.
Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Hakikat
sila-sila Pancasila (substansi Pancasila) adalah merupakan nilai-nilai, sebagai
pedoman negara adalah merupakan norma, adapun aktualisasinya merupakan
realisasi kongkrit Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai
sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia uang
akan diwujudkan dalam kehidupannya. Sejak dahulu kala nilai-nilai itu selalu
didambakan, dicita-citakan bangsa Indonesia agar terwujud dalam masyarakat yang
tata tentrem, karta raharja, gemah ripah
loh jinawi, dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam sikap, tingkah
laku dan perbuatan manusia Indonesia. Namun seperti yang telah diuraikan pada
bagian-bagian sebelumnya, Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal diangkat
menjadi das Sollen bangsa Indonesia,
sebenarnya dianggap dari kenyataan real yang berupa prinsip-prinsip dasar yang
terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau
kepercayaan bangsa Indonesia. Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa
Indonesia, Pancasila merupakan Sein im
Sollen. Ia merupakan harapan, cita-cita, tetapi sekaligus adalah kenyataan
bagi bangsa Indonesia.
Pengertian
Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai dapat dilacak dari sila-sila
Pancasila yang merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan kesatuan
organik. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan
secara erat, bahkan saling mengkualifikasi. Adanya sila yang satu
mengkualifikasi adanya sila yang lainnya. Secara demikian, Pancasila itu
merupakan suatu sisitem dalam pengertian umum, dalam artian bahwa
bagian-bagiannya (sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga
membentuk suatu struktur yang menyeluruh.
Suatu
hal yang diberikan penekanan lebih dahulu yakni meskipun nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot nilai yang lebih
tinggi, nilai-nilai yang berbeda tingkatan dan bobot nilainya itu tidak saling
berlawanan atau bertentangan,melainkan saling melengkapi.
E. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Fundamental
bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia
Dasar
pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah
sebagai berikut. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik
Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan,
kemasnyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan
bertolak dari suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan
hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia (legal
society) atau masyarakat hukum.
Pancasila
tergolong nilai kerikhanian, akan tetapi nilai kerokhanian yang mengakui adanya
nilai meterial dan nilai vital karena pada hakikatnya menurut Pancasila bahwa
negara adalah jasmani rokhani. Selain itu dalam Pancasila yang merupakan
nilai-nilai kerokhanian itu di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara
lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (Kenyataan),
estetis,etis maupun nilai religius. Hal ini dapat dibuktikan pada nilai-nilai
Pancasila yang tersusun secara hierarkhis piramidal uang bulat dan utuh. Selain
itu secara kaulitas bahwa nilai-nilai Pancasila adalah sifat objektif dan juga
subjektif. Artinya esensi nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal yaitu
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Nilai-nilai
Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Rumusan
dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam
menunjukan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan
suatu nilai.
b. Inti
nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehiduan bangsa
Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain baik dalam adat kebiasaan,
kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
c. Pancasila
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat
sebagai pokok kaidah yang fundamental negara sehingga merupakan suatu sumber
hukum positif di Indonesia.
Sebagai
konsekuensinya jikalau nilai-nilai Pancasila yang terkandung UUD 1945 itu
diubah maka sama halnya dengan pembubaran negara Proklamasi 1945, hal ini
sebagaimana terkandung dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, diperkuat Tap.
No. V.MPR/1973. Jo. Tap .No.IX/MPR/1978.
Sebaliknya nilai-nilai subjektif Pancasila dapat
diartikan bahwa keberadaan nilai-nilai Pancasila itu bergantung atau terlekat
pada bangsa Indonesia sendiri.
Pengertian
itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Nilai-nilai
Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagau kausa
materialis. Nilai-nilai tersebur sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, serta
hasil refleksi filosofis bansa Indonesia.
b. Nilai-nilai
Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga
merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran,
kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan
bernegara.
c. Nilai-nilai
Pancasila di dalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerokhanian yaitu nilai
kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estesis dan nilai religius,
yang manifestasinya sesuai denga budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber
pada kepribadian bangsa (lihat Darmodihardjo, 1996)
2.
Nilai-nilai
Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara
Nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya merupakan
suatu sumber dari hukum dasar dalam begara Indonesia. Sebagai suatu sumber dari hukum dasar, secara objektif merupakan
suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cira hukum, serta cita-cita moral yang
luhur meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada
tanggal 18 Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri
negara menjadi lima sila dan ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar
filsafat negar Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam
ketetapan No. XX/MPRS/1966.
F. Pancasila sebagai
ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Istilah
ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep, pengertian
dasar, cita-cita’ dan ‘logos’ yang berarti ‘ilmu’. Cita-cita yang dimaksud
adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita
yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Memang pada hakikatnya,
antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat merupakan satu-kesatuan. Dasar
ditetapkan karena atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetapkan
pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang idea-idea,
pengertian dasar, gagasan dan cita-cita.
Sebagai
suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan
hanya merupakan hasil perenungan atau pemikiran sesorang atau kelompok orang
sebagaimana ideologi-ideologi lain didunia, namun Pancasila diangkat dari
nilai-nilai, adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang
terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara,
dengan kata lai unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain
diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini
merupakan kausa materialis (asal
bahan) Pancasila.
G.
Makna
Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
Sebagai
sumber dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem
nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan. Meskipun dalam setiap sila lainnya terkandung nilai-nilai yang
memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya namun kesemuannya itu tidak lain
merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Oleh karena itu meskipun dalam uraian
berikut ini menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila, namun
kesemuaanya itu tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya.
Konsekuensinya realisasi setiap sila atau derivasi setiap sila senantiasa, dalam
hubungan yang sistemik dengan sila-sila lainya. Hali ini berdasarkan pada
pengertian bahwa makna sila-sila Pancasila senantiasa hubungannya sebagai
sistem filsafat. Adapun nilai-nlai yang terkandung dalam setiap sila adalah
sebagai berikut:
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainya. Dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa terkandung bahwa negara yang
didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggaraan negara,
politik negara, pemerintaha negara, hukum dan peraturan perundang-undangan
negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila
berikutnya. Sila kemanusiaan sebagai dasar
fundamental dalam kehidupan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan.
Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar filosofis antropologis bahwa hakikat
manusia adalah susunan kodrat rokhani (jiwa) dan raga, sifat kodrat individu
dan makhluk sosial, kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.
Dalam
sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Kemanusiaan yang adil
beradab adalah mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku
manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan
norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap diri sendiri, nilai kemanusiaan
yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya
bermoral dan beragama. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia,
tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap sesama manusia, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan (Darmodiharjo, 1996).
3.
Persatuan
Indonesia
Nilai
yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat
sistematis. Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung dalam nilai bahwa negara
adalah penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi
satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu seloka
Bhineka Tunggal Ika. Pebedaan
bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan
pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan
bersama untuk memujudkan bersama sebagai bangsa.
Nilai
Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionalisme
Indonesia adalah nasionalisme religius. Yaitu nasionalisme yang bermoral
Ketuhanan yang Maha Esa, nasionalisme yang humanistik yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Oleh karena itu nilai-nilai
nasionalisme ini harus tercermin dalam segala aspek penyelenggaraan negara
termasuk dalam era reformasi dewasa ini. Proses reformasi tanpa mendasarkan
pada moral Ketuhanan, Kemanusiaan dan memegang teguh persatuan dan kesatuan,
maka bukan tidak mungkin akan membawa kehancuran bagi bangsa Indonesia seperti
halnya telah terbukti pada bangsa lain misalnya Yugoslavia, Srilangka dan lain
sebagainya.
4. Kerakyatan
yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawarata/Perwakilan
Nilai
yang terkandung dalam silakerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan didasari oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia dan mendasari serta
menjiwai sila Keadilan Sosial bagi seruluh Rakyat Indonesia. Nilai filosofis
yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikatnya negara sebagai penjelmaan
sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Negara adalah dari oleh dan untuk
rakyat, oleh sebab karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan
negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara
mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara.
Maka
nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam sila kedua adalah (1) adanya
kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat
bangsa maupun secaara moral terhadap Tuhan yang Maha Esa. (2) Menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan. (3) Menjamin dan memperkokoh persatuan dan
kesatuan dalam hidup bersama. (4) mengakui atas perbedaan individu, kelompok,
ras, suku, agama, karena perbedaan adalah merupakan suatu bawaan kodrat
manusia. (5) Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu,
kelompok, ras, suku maupun agama. (6) Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja
sama kemanusiaan yang beradab. (7) Menjunjung tinngi asas musyawarah sebagai
moral kemanusiaan yang beradab. (8) Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan
dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama. Demikian nilai-nilai
yang terkandung dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.
5.
Keadilan
Sosial bagu Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam
sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara
sebagai tujuan dalam hidup yang harus terwujud dalam kehidupan bersama
(kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan masyarakat,
bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya.
Konsekuensianya
nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama adalah meliputi
(1) keadilan distributif, yaitu suatu
hubungan keadilan antara negara terhadap warganya. (2) keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan
antara warga negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang
wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam negara. (3) keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan
antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik. Nilai-nilai keadilan
tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan tujuan negara yaitu
memujudkan kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan
sekuruh warganya.
H.
Pancasila
sebagai Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Setiap
bangsa di dunia senaNtiasa memiliki suatu cita-cita serta pandangan hidup yang
merupakan suatu basis nilai dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh
bangsa tersebut. Bangsa yang hidup dalam suatu kawasan negara bukan terjadi
secara kebetulan melainkan melalui suatu perkembangan kausalitas, dan hal ini
menurut Ernest Renan dan Hans Khons sebagai suatu proses sejarah terbentunya
bangsa, sehingga unsur kesatuan atau nasionalisme suatu bangsa ditentukan juga
oleh sejarah terbentuknya bangsa tersebut.
Konsekuensinya
selama bangsa Indonesia memiliki
kehendak bersama membangun bangsa untuk membangun bangsa di atas dasar
filosofis nilai-nilai Pancasila, seharusnya segala kebijakan dalam negara
terutama melakukan suatu pembaharuan-pembaharuan dalam negara pangkal tolak
derivasi baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum serta kebijakan
hubungan internasional dewasa ini. Hal inilah dalaam wacana ilmiah dewasa ini
diistilahkan bahwa Pancasila sebagai
paradigma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Inti
sari pengertian ‘Paradigma’ adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi
teroretis yang umum yang merupan suatu sumber nilai. Konsekuensinya hal itu
merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu
pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri. Berdasarkan hakikatnya manusia dalam kenyataan
objektivnya bersifat ganda bahkan multidimensi. Atas dasar kajian ilmu
pengetahuan sosial tersebut kemudian dikembangkanlah metode baru berdasarkan
hakikat dan sifat paradigma ilmu tersebut, maka berkembanglah metode
kualitatif.
Secara
filosofis kedudukan Pancasila sebagai paradigma kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Secara ontologis manusia unsur fundamental “monopluralis”, yang
unsur-unsurnya meliputi susunan kodrat jasmani-rokhani, sifat kodrat individu
makhluk sosial dan kedudukan kodrat makhluk pribadi makhluk Tuhan yang Maha
Esa. Kenyataan objektif nilai-nilai filosofis Pancasila sebagai paradigma
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan sebenarnya bukanlah hanya pada tingkatan
legitimasi yuridis dan politis saja melainkan pada tingkatan
sosio-kultural-religius.
Secara
lebih rinci filsafat Pancasila sebagai dasar kehidupan kebangsaan adalah
merupakan Identitas Nasional Indonesia.
Hal ini didasarkan pada suatu realitas bahwa kausa materialis atau nilai-nilai
Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri. Konsekuensinya ciri khas sifat,
serta karakter bangsa Indonesia tercerminkan dalam suatu sistem nilai filsafat
Pancasila. Selain itu filsafat Pancasila merupakan dasar dari Negara dan Konstitusi ( Undang-Undang Dasar
Negara) Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Filsafat Pancasila sebagai
dasar Negara Republik Indonesia, memiliki konsekuensi sehingga peraturan
perundang-undangan dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain
Pancasila merupakan sumber hukum dasar
Indonesia, sehingga seluruh peraturan hukum positif Indonesia diderivasikan
atau dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
Pancasila
juga merupakan dasar dan basis geopolitik dan geostrategi Indonesia.
Sebagaimana dipahami bahwa geopolitk diartikan sebagai kebijaksanaan dan
strategi nasioanla Indonesia, yang didorong oleh aspirasi nasional geografik
atau kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi,
wilayah atau teritorial dalam arti luas Negara Indonesia, yang apabila
dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung terhadap
politik negara. Sebaliknya politik negara itu secara langsung akan berdampak
kepada geografi negara yang bersangkutan ( Suradinata, 2005:11). Sebagai konsekuensi dari konsep geolitik
Indonesia, maka Pancasila merupakan dasar filosofi geostrategi Indonesia.
Geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, melalui proses pembangunan
nasional dengan memanfaatkan geopolitik Indonesia. Dengan Pancasila sebagai
dasarnya, maka pembangunan Indonesia akan memiliki visi yang jelas dan terarah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan
jawaban dari rumusan masalah seperti yang telah dipaparkan pada Bab II, maka tim
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.
Filsafat adalah suatu
bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Jikalau
ditinjau dari lingkup pembahasannya, maka filsafat meliputi banyak bidang bahasan
antara lain tentang manusia, masyarakat, alam, pengetahuan, etika, logika, agama,
estetika dan bidang lainnya. Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai
masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam yakni filsafat sebagai
produk dan filsafat sebagai suatu proses mencakup pengertian.
2.
Isi sila-sila Pancasila
pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara Indonesia
terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradaban. Namun
demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan utuh,
setiap sila merupakan suatu unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila.
3.
Susunan Pancasila
adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Pengertian matematika
piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila dari
Pancasila dalam urutan-urutan luas (kwantis) dan juga dalam hal sifat-sifatnya
(kwalitas). Dalam susunan hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang
Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan
keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ketuhanan yang
berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan
Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial demikian selanjutnya.
4.
Dasar ontologis
Pancasila pada hakikatnya adalah manusia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut: bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berpersatuaan, yang berkerakyatan dan dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial
pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23 ).
5.
Pancasila sebagai
filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia, mengandung makna bahwa dalam
setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus
berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Selanjutnya, nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu sumber dari hukum dasar dalam begara Indonesia.
6.
Sebagai suatu ideologi
bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya
merupakan hasil perenungan atau pemikiran sesorang atau kelompok orang
sebagaimana ideologi-ideologi lain didunia, namun Pancasila diangkat dari
nilai-nilai, adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang
terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia.
7.
Sebagai sumber dasar
filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai. Meskipun
dalam setiap sila lainnya terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara
satu dengan lainnya namun kesemuannya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan
yang sistematis.
8.
Setiap bangsa di dunia
senatiasa memiliki suatu cita-cita serta pandangan hidup yang merupakan suatu
basis nilai dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa tersebut.
Selama bangsa Indonesia memiliki
kehendak bersama membangun bangsa untuk membangun bangsa di atas dasar
filosofis nilai-nilai Pancasila, seharusnya segala kebijakan dalam negara
terutama melakukan suatu pembaharuan-pembaharuan dalam negara pangkal tolak
derivasi baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum serta kebijakan
hubungan internasional dewasa ini.
B.
Saran
Berdasarkan
jawaban dari rumusan masalah seperti yang telah dipaparkan pada Bab II, maka
tim penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Sebaiknya
kita mengamalkan nilai-nilai pancasila karena apapun tindakan yang kita lakukan
sehari-hari bersumber dari pancasila
2. Sebaiknya
kita sebagai warga negara Indonesia menjunjung tinggi nilai dan makna pancasila
dengan cara menghayati dan melaksanakan nilai pancasila secara konsisten dan
penuh tanggung jawab.
3. Sebaiknya
kita mengaplikasikan segala bentuk nilai-nilai pancasila dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tetap terciptanya kemerdekaan tanpa
penjajahan dari negara lain.
4. Sebaiknya
sebagai warga negara yang baik kita harus menaati semua peraturan yang ada di
negara kita dengan berlandaskan nilai pancasila dan siap menerima sanksi
apabila melanggar hukum yang berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Tugas,
Makalah Pendidikan Kewarganegaraan (Kajian Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologi Pancasila). (2012). Diakses pada tanggal 22
September 2013. From http://orathforever.blogspot.com/2012/10/makalah-filsafat-pancasila-ontologis.html.
Ridio,
Muhammad Rosyid. (2012). Makalah Filsafat
Pancasila. Diakses pada tanggal 22 September 2013. From http://hardika.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/13/makalah-filsafat-pancasila/.
Makalah
Filsafat Pancasila. (2011). Diakses pada tanggal 22 September 2013. From http://buyungchem.wordpress.com/about/makalah-filsafat-pancasila/.
0 komentar:
Posting Komentar