Vidies

Vidies

Pages

Wahyudi Aldiano. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Format Sampul Makalah yang Baik dan Benar

SASTRA ANGKATAN REFORMASI DAN 2000
Diajukan sebagai Syarat Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Sejarah Sastra
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Dosen Pengampu Dra. Sesilia Seli, M. Pd.



Oleh

Wahyudi                                             F1011131067





FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Latar Belakang Lahirnya Sastra Angkatan 60



Lahirnya sastra angkatan 60 ini ditandai dengan terjadi permasalahan-permasalahan kompleks Indonesia yang terjadi pada masa itu, khususnya pada bidang politik. Kemelut politik ini disebabkan semakin liarnya PKI beserta ormas-ormasnya yang berdampak pada kesusastraan Indonesia. Keadaan yang demikian, memicu lahirnya angkatan 66 yang memiliki cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan.
Munculnya nama angkatan ’66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ’66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penanaman angkatan ’66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ’66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan.
Karya yang dihasilkan bermacam-macam ide dan warna. Contohnya: warna lokal yang terdapat pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmad Thohari.  Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga. Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena adanya norma politik dan norma ekonomi. Menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan kediktatoran,  bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dan PKI. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah kumpulan sajak “Tirani” dan “Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes Kebudayaan  yang sempat berseteru dengan LEKRA. Sastra tersebut merupakan sastra protes. Arti penting sajak angkatan ‘66 pertama-tama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail. Contoh karya Taufik Ismail yaitu Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng (kumpulan sajak tahun 1966), Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Buku Tamu Museum Perjuangan (kumpulan sajak, 1969).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Latar Belakang Lahirnya Sastra Angkatan 50



Sastra angkatan 50 dilatarbelakangi oleh keadaan Indonesia yang pada saat itu mengalami perubahan yang cukup drastis, yakni dari transisi penjajahan berdarah menuju ke kemerdekaan cemerlang. Tentunya suasana tersebut, para sastrawan mulai memikirkan ciri khas sastra pada angkatan 50-an dan masalah kebudayaan yang sedang dialami Indonesia untuk membedakannya dari angkatan sastra sebelumnya. Para sastrawan juga mulai mencari bahan-bahan yang merujuk pada kebudayaan Indonesia yang murni dan membebaskannya dari pengaruh budaya asing setelah penjajahan.
Partai politik mempunyai pengaruh tersendiri pada angkatan 50. Indonesia pada waktu itu menganut sistem politik perlementer, yakni sistem pemerintah yang berperan sebagai eksekutif yang harus bertanggungjawab kepada parlemen sehingga dalam sistem pemerintahan perlementer ini mempunyai  kekusasaan dan kewenangan yang sangat besar. Akibat sistem tersebut, partai-partai politik mulai bermunculan lagi yang dapat bergerak bebas pasca kemerdekaan. Masing-masing partai pada waktu itu memiliki lembaga kebudayaan sendiri, satu di antaranya adalah PKI yang mempunyai Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Akibat Lekra yang memiliki semboyan “seni utntuk rakyat” dan ”politik sebagai panglima,” maka timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960 yang menyebabkan berhentinya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S/PKI di Indonesia.
H.B. Jassin dapat dikatakan sebagai pelopor angkatan 50 karena angkatan 50-an ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra “Kisah” yang ditanganinya. Keadaan  seperti  itulah  yang  menyebabkan  lahirnya  istilah sastra  majalah.  Istilah  ini  dilansir  dan  diperkenalkan  oleh  Nugroho  Notosusanto  dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di majalah Kompas yang dipimpinnya. Pada angkatan ini berkembang karya sastra yang didominasi oleh cerpen, balada dan puisi. Dalam bentuk puisi gaya bercerita pengarang juga berkembang seperti berkembangnya puisi cerita atau balada dengan gaya yang lebih sederhana seperti puisi karya Rendra yaitu “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Nyanyian Angsa” ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan.
Adapun sastrawan yang termasuk dalam periode 50-an ini di antaranya Kirdjomuljo, WS Rendra, Ajib Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Nugroho Notosanto, Subagio Sastrowadojo, Mansur Samin, N.H. Dini, Trisnojuwono, Rijono Pratikno, Alexandre Leo, Jamil Suherman, Bokor Hutusahut, Bastari Asnin, B. Sularto, Motinggo Busye Nasjah Djamin, Mohamad Diponegoro, Toha Mochtar, Ratmono Sn. Piek Ardidyanto, Hartojo Andangjaya, dan sebagainya.
Hakekatnya, sastra angkatan 50 ini susah dibedakan dengan angkatan 45, karena angkatan 50 merupakan lanjutan dari angkatan 45, mempunyai struktur fisik dan estetika yang sama. Hanya saja yang membedakannya adalah situasi tanah air pada saat itu. Sesungguhnya setiap periode angkatan memiliki ciri-ciri maupun karateristik yang berbeda, tidak terkecuali ciri-ciri karya sastra angkatan 50-an baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Adapun ciri-ciri dari sastra angkatan ini adalah sebagai berikut.
1)      umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
2)      sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
3)      corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
4)      terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan;
5)      gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembngnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana dari puisi lirik;
6)      gaya mantra mulai tampak balada-balada;
7)      gaya ulangan mulai pada berkembang (meskipun sudah dimulai oleh angkatan 45);
8)      gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan karya gaya angkatan 45;
gaya slogan dan retorik makin berkembang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS