Sastra
angkatan 45 ini lahir saat Indonesia masih dalam belenggu pendudukan Jepang
menuju kemerdekaan dan terjadinya perubahan iklim politik di Indonesia.
Kelahiran angkatan ini memberi warna baru dalam angkatan sastra Indonesia dan
penuh kontroversi. Kontroversinya adalah angkatan 45 berani untuk mendobrak dan
melanggar aturan-aturan sastra yang telah dibuat sebelumnya. Sastra angkatan
ini mengikrarkan dirinya dan mempunyai identitas yang jelas, tidak seperti
angkatan sebelumnya yang tunduk pada penjajah yang dianggap mencoreng dan
mengkhianati bangsa Indonesia itu sendiri. Seperti halnya yang dilakukan oleh angkatan Balai Pustaka yang dinilai
tunduk pada “Volkslectuur”, yakni lembaga kesustraan kolonial Belanda, dan
ngkatan Pujangga Baru dinilai menghianati identitas bangsa karena terlalu
berkiblat ke Barat. Angktan ini pun berdiri dengan tegak sebagai penolakan dari
angkatan-angkatan sebelumnya.
Sastra angkatan 45 ini pun menjadi
pusat perhatian para sastrawan diseluruh Indonesia. Hal ini merujuk pada
beraninya sastra ini dalam melanggar aturan-aturan sastra yang di ada. Oleh
karena itu, hal inilah yang menjadi ciri khas dan lahirnya identitas barudalam
sastra angkatan 45 ini. Penggerak dalam sastra angkatan ini pun adalah mereka
yang menaruh perhatian besar, memberi sumbangsih buah pikirannya dan berjuang
bersama dalan sastra angkatan ini. Para sastrawan yang tergabung dalam sastra
angkatan ini seolah ingin bebas dari kekangan budaya asing yang mengikat budaya
Indonesia.
Pelopor dari sastra angkatan 45
adalah Rosihan Anwar, seorang sejarawan,
sastrawan,
dan budayawan
di Indonesia. Beliau
mengikrarkan nama angkatan ini dalam lembar kebudayaan “Gelanggang.” Setelah
penamaan angkatan itu, banyak tanggapan positif yang di dapat Rosihan Anwar,
para sastrawan pun setuju dan menyepakati atas penamaan angkatan ini, terutama
mereka yang tergabung dalam sastra periode 40-an.
Adapun
tokoh yang tergabung dalam sastra angkatan 45 adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar
Apin, Riva’I Apin dan Baharudin. Mereka aktif dalam menciptakan karya sastra
dan mereka mendapatkan saluran resmi untuk menerbitkan karya-karya yang telah
mereka ciptakan melalui majalah kebudayaan Gema
Suasana, pada Januari 1948. Awalnya majalah ini masih dalam naungan
percetakan Belanda Opbouw (Pembangun). Namun, dalam konfrontasinya mereka
berhasil lepas dan pindah ke “Gelanggang.” Setelah pindah, mereka kemudian
menerbitkan kredo Angkatan 45, yang dikenal luas dengan nama “Surat Kepercayaan
Gelanggang”.
Setiap angkatan pasti memiliki ciri khas dalam setiap
karya-karya yang dihasilkan, begitu pula dengan sastra angkatan 45 ini. Berikut
ini adalah ciri-ciri dari karya sastra angkatan 45:
1) terbuka,
2) pengaruh unsur
sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya,
4) sastrawan
periode ini terlihat menonjol individualismenya,
6) penghematan
kata dalam karya,
7) lebih ekspresif
dan spontan, serta
terlihat sinisme dan sarkasme, didominasi puisi, sedangkan bentuk prosa tampak berkurang.
0 komentar:
Posting Komentar