Sastra
angkatan 50 dilatarbelakangi oleh keadaan Indonesia yang pada saat itu
mengalami perubahan yang cukup drastis, yakni dari transisi penjajahan berdarah
menuju ke kemerdekaan cemerlang. Tentunya suasana tersebut, para sastrawan
mulai memikirkan ciri khas sastra pada angkatan 50-an dan masalah kebudayaan
yang sedang dialami Indonesia untuk membedakannya dari angkatan sastra
sebelumnya. Para sastrawan juga mulai mencari bahan-bahan yang merujuk pada
kebudayaan Indonesia yang murni dan membebaskannya dari pengaruh budaya asing
setelah penjajahan.
Partai
politik mempunyai pengaruh tersendiri pada angkatan 50. Indonesia pada waktu
itu menganut sistem politik perlementer, yakni sistem pemerintah yang berperan
sebagai eksekutif yang harus bertanggungjawab kepada parlemen sehingga dalam
sistem pemerintahan perlementer ini mempunyai
kekusasaan dan kewenangan yang sangat besar. Akibat sistem tersebut,
partai-partai politik mulai bermunculan lagi yang dapat bergerak bebas pasca
kemerdekaan. Masing-masing partai pada waktu itu memiliki lembaga kebudayaan
sendiri, satu di antaranya adalah PKI yang mempunyai Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berkonsep
sastra realisme-sosialis. Akibat Lekra yang memiliki semboyan “seni utntuk
rakyat” dan ”politik sebagai panglima,” maka timbullah perpecahan dan polemik
yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun
1960 yang menyebabkan berhentinya perkembangan sastra karena masuk kedalam
politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S/PKI di
Indonesia.
H.B. Jassin dapat dikatakan sebagai
pelopor angkatan 50 karena angkatan 50-an ini ditandai dengan terbitnya majalah
sastra “Kisah” yang ditanganinya. Keadaan seperti itulah
yang menyebabkan lahirnya istilah sastra majalah.
Istilah ini dilansir dan diperkenalkan oleh
Nugroho Notosusanto dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di
majalah Kompas yang dipimpinnya. Pada angkatan ini berkembang karya sastra yang
didominasi oleh cerpen, balada dan puisi. Dalam bentuk puisi gaya bercerita
pengarang juga berkembang seperti berkembangnya puisi cerita atau balada dengan
gaya yang lebih sederhana seperti puisi karya Rendra yaitu “Balada Terbunuhnya
Atmo Karpo” atau “Nyanyian Angsa” ada gambaran suasana muram karena
menggambarkan hidup yang penuh penderitaan.
Adapun sastrawan yang termasuk dalam
periode 50-an ini di antaranya Kirdjomuljo, WS Rendra, Ajib Rosidi, Toto
Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Nugroho Notosanto, Subagio Sastrowadojo, Mansur
Samin, N.H. Dini, Trisnojuwono, Rijono Pratikno, Alexandre Leo, Jamil Suherman,
Bokor Hutusahut, Bastari Asnin, B. Sularto, Motinggo Busye Nasjah Djamin,
Mohamad Diponegoro, Toha Mochtar, Ratmono Sn. Piek Ardidyanto, Hartojo
Andangjaya, dan sebagainya.
Hakekatnya,
sastra angkatan 50 ini susah dibedakan dengan angkatan 45, karena angkatan 50
merupakan lanjutan dari angkatan 45, mempunyai struktur fisik dan estetika yang
sama. Hanya saja yang membedakannya adalah situasi tanah air pada saat itu. Sesungguhnya setiap periode angkatan
memiliki ciri-ciri maupun karateristik yang berbeda, tidak terkecuali ciri-ciri
karya sastra angkatan 50-an baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Adapun
ciri-ciri dari sastra angkatan ini adalah sebagai berikut.
1) umumnya karya sastrawan sekitar
tahun 1950-1960-an;
2) sampai tahun 1950-1955, sastrawan
angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
3) corak karya cukup beragam, karena
pengaruh faktor politik/idiologi partai;
4) terjadi peristiwa G 30 S/PKI
sehingga sastrawan Lekra disingkirkan;
5) gaya epik (bercerita) berkembang
dengan berkembngnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana
dari puisi lirik;
6) gaya mantra mulai tampak
balada-balada;
7) gaya ulangan mulai pada berkembang
(meskipun sudah dimulai oleh angkatan 45);
8) gaya puisi liris pada umumnya masih
meneruskan karya gaya angkatan 45;
gaya slogan dan retorik makin berkembang.