Krisis karakter seakan
telah menjadi problema serius yang sedang dihadapi oleh Indonesia pada era
demokrasi yang terlalu bebas ini. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya masalah
seputar karakter yang semakin kompleks dibandingkan masalah-masalah karakter
yang terjadi pada masa sebelumnya. Persoalan tentang karakter seakan tidak ada
habisnya dan hal ini menjadi dasar pemikiran bahkan keprihatinan publik karena
negara ini bisa dikatakan sedang mengalami demam karakter. Demam karakter ini
ditandai dengan akhlak yang seharusnya putih bersih menjadi pudar menuju
gradiasi abu-abu dan menghitam yang menimbulkan masalah sosial yang perlu untuk
dituntaskan. Masalah karakter yang marak remaja lakukan saat ini ialah bullying. Walaupun sebenarnya masalah
ini kelihatan sederhana, tetapi masalah inilah yang sejatinya dapat membunuh
karakter bangsa dan cenderung akan menjurus pada tindakan anarkis.
Pengetahuan, agama,
etika dan nilai-nilai yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan sepertinya
belum menampakkan hasil yang signifikan terhadap perubahan karakter yang baik
karena masih saja terjadi krisis moral. Mayoritas orang pun beranggapan bahwa
kondisi ini terjadi akibat yang dituai oleh dunia pendidikan itu sendiri.
Krisis moral terjadi karena tenaga pendidik mengajarkan moral dan budi pekerti yang
cenderung mengajarkan peserta didik hanya sebatas teori dan teks saja, serta
terlalu mengabaikan pentingnya praktik dalam menghadapi kehidupan yang kontradiktif.
Pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah merupakan aspek penting untuk
mengembangkan karakter peserta didik. Oleh karena itu, di dalam pelaksanaan pendidikan
karakter, kedua aspek tersebut semestinya memberikan kesempatan kepada peserta
didik mengalami sifat-sifat tersebut secara langsung.
Pendidikan karakter
harus dilaksanakan secara efektif dalam pembelajaram setiap jenjang pendidikan,
agar terciptanya pendidikan yang kondusif dan kondisi moral yang carut marut
seperti penjelasan sebelumnya dapat terminimalisir. Pendidikan karakter memang
terdengar sederhana, namun sulit untuk dilakukan. Hal ini pun banyak diakui
oleh para guru yang sukar untuk menyisipkan pendidikan karakter dalam setiap
materi pelajaran yang disampaikannya.
Undang-Undang pasal 39
No. 20 tahun 2003 berbunyi “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.” Berdasarkan
UU tersebut, sudah jelas tugas seorang guru yang harus profesional dalam bidangnya
dan mampu menciptakan sebuah metode pembelajaran baru, khususnya pendidikan
karakter yang diharapkan mampu menjawab permasalahan krisis karakter.
Pendidikan karakter
merupakan upaya sadar tenaga pendidik yang mendorong peserta didik untuk tumbuh
dan berkembang dengan kompetensi dalam berpikir, penghayatan bentuk sikap,
pengalaman prilaku yang berdasarkan kode etik dan diwujudkan dengan interaksi
kepada Tuhan. Pendidikan karakter tidak bisa dilakukan secara instan dan
sekadar mentransfer ilmu pengetahuan atau
melatih suatu keterampilan tertentu. Oleh karena itu, untuk mewujudkan
suatu pendidikan karakter yang baik harus dibutuhkan proses, panutan dan
pembiasaan dalam lingkungan tempat peserta didik berinteraksi seperti pada
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Tentunya, pendidikan
karakter memiliki tujuan. Tujuan pendidikan karakter adalah membangun pribadi
yang mantap secara utuh dan berkarakter. Tidak dapat dipungkiri bahwa membentuk
karakter bukanlah perkara yang mudah. Maka dari itu diperlukan strategi yang
tepat untuk mengembangkan pendidikan karakter. Satu di antaranya adalah dengan
cara membangun suasana pembelajaran yang kondusif sehingga peserta didik dapat
belajar secara efektif. Setelah terwujudnya suasana pembelajaran yang kondusif
maka siswa akan lebih mudah untuk menerima materi yang disampaikan oleh
pendidik dan pendidik pun dapat menerapkan metode pembelajaran yang menuntut
siswa untuk berpartisipasi lebih aktif sehingga komunikasi dua arah dapat
terpenuhi.
Membangun hubungan yang
mendukung dan penuh perhatian pun juga menjadi indikator terpenting untuk
menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif. Penuh perhatian artinya
pendidik haruslah memberikan perhatian, layanan dan kasih sayang yang sama
kepada setiap peserta didik agar tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan di
dalam kelas. Setelah kondisi tersebut dapat tercipta guru pun menyampaikan
materi secara teori maupun praktik. Penyampaian secara praktik dapat dilakukan
oleh pendidik itu sendiri sebagai model atau contoh karakter baik yang harus
ditiru dalam pendidikan karakter karena pada dasarnya anak cenderung menirukan
apa yang dilihatnya daripada apa yang didengarnya.
Strategi pendidikan
karakter yang dapat dilakukan selanjutnya adalah dengan memotivasi peserta
didik. Pendidik harus piawai dalam memberikan motivasi kepada peserta didik
dengan cara memberikan tugas yang menuntut kedisiplinan, memberikan penghargaan
berupa nilai tambahan saat peserta didik berhasil dalam mencapai suatu
pembelajaran dan memberikan hukuman yang sifatnya mendidik. Motivasi dapat
menstimulasi peserta didik untuk menjadi lebih aktif dalam pembelajaran. Tugas
pendidik yang selanjutnya adalah menyediakan dan menciptakan peluang bagi siswa
untuk menjadi lebih aktif dalam pembelajaran yang disampaikan. Contohnya
seperti memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya, menyampaikan
aspirasi, berdiskusi untuk memecahkan suatu masalah dan memberikan solusi.
Mata pelajaran agama
pun menjadi dasar dalam pembentukan karakter. Strategi yang harus dilakukan
oleh pendidik adalah dengan menambah jam mata pelajaran ini. Publik menilai
kurangnya jam mata pelajaran agama menjadi satu di antara penyebab krisis
karakter yang diderita Indonesia saat ini. Tidak hanya tugas guru agama dalam
pembentukan karakter peserta didik, tetapi semua pihak sekolah yang terkait
ikut bertanggungjawab atas terbentuknya karakter seorang peserta didik. Dalam
penerapannya, pendidik harus cerdas dalam menyisipkan pendidikan karakter,
seperti mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial.
Contohnya dalam pembelajaran, peserta didik diminta untuk mendengarkan ketika
orang lain berbicara, menghargai perbedaan dan menyelesaikan suatu masalah
secara kekeluargaan dan mufakat.
Problema krisis
karakter sebenarnya bisa terminimalisir dan teratasi jika saja setiap pihak
yang bertanggungjawab atas perkembangan peserta didik dapat bekerjasama,
mengerti akan perannya dan menerapkan stategi pendidikan karakter yang tepat
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, kita sebagai agen yang
peduli akan pendidikan harus berkonstribusi dalam pendidikan karakter yang
dapat dilakukan dari diri sendiri, kepada orang lain dan bersama-sama melakukan
perubahan karena karakter warga negara merupakan cerminan karakter bangsanya.